KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya. Amin. Limpahan syalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya hingga Akhir zaman.
Atas berkat rahmatnya, Alhamdulilah penyusun, telah dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, tampa ada dorongan dari beberapa pihak jauh dari kemungkinan makalah ini dengan baik, maka dengan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, dan kepada rekan-rekan yang telah memberikan motivasi, baik moril maupun materil.
Akhirnya penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, karena itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak apabila makalah ini tidak sesuai harapan. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi menuju ke arah yamg lebih baik penulisan makalah ini.
Semoga makalah ini mendapat ridho Allah AWT dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Tasikmalaya, Nopember 2010
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan, adalah alat atau sarana bagi manusia untuk mengembangkan keilmuan dan pengetahuan, oleh karena itu pendidikan diharapkan memiliki standard dan dasar-dasar yang tertata, dikurikulumkan, dan jelas teori-teori dan konsep-konsep pendidikan yang diharapkan adalah konsep dan teori yang relepan dengan keadaan yang berlaku
Islam, telah datang dengan teori dengan konsep yang memiliki syarat, tertata, dan dikurikulumkan. Adapun teori dan konsep yang baik dari Islam antara lain Al-Qur’an, Al-Hadits atau As-Sunnah, dan ra’yu. Al-Quran dan Al-Hadits merupakan pondasi dan tiang yang sangat kokoh dalam pendidikan, dan ra’yu sebagai pelengkap dan memperindah dunia pendidikan Islam. Jadi, untuk menuju pendidikan yang baik kita harus memiliki pendidikan yang memiliki dasar seperti Al-Quran, Hadits, dan ra’yu.
1.2 Tujuan Penulisan
Dalam penulisan ini, penyusun memiliki tujuan untuk:
- Memberikan pengertian tentang dasar-dasar ilmu pendidikan Islam.
1.3 Metode Penulisan
Dalam penyusunan ini, penyusun menggunakan metode studi kepustakaan, yakni membaca, memahami, dan membuat resume tentang dasar-dasar ilmu pendidikan Islam.
BAB II
DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN ISLAM
2.1 Pengertian Dasar Ilmu Pendidikan Islam
Dasar (Arab, asas; Inggris: foundation; Prancis: fondement; Latin: fundamentum) secara bahasa, berarti alas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu (pendapat, ajaran, aturan). Dasar mengandung pengertian sebagai berikut: (1) sumber dan sebab adanya sesuatu. Umpamanya, alam rasional adalah dasar alam inderawi. Arinya, alam rasional merupakan sumber dan sebab adanya alam inderawi. (2) proposisi paling umum dan makna paling luas yang di jadikan sumber pengetahuan, ajaran, atau hukum. Umpamanya, dasar induksi adalah prinsif yang membolehkan pindah dari hal-hal yang khusus kepada hal-hal yang umum. Dasar untuk pindah dari ragu kepada yakin adalah kepercayaan kepada Tuhan bahwa dia tidak mungkin menyesatkan hamba-hamba-Nya.
Dasar mesti ada dalam suatu bangunan. Tanpa dasar, bangunan itu tidak akan ada. Pada pohon, dasar adalah akarnya. Tanpa akar, pohon itu mati; dan ketika sudah mati, bukan pohon lagi namanya, melainkan kayu. Maka tak ada akar, pohon pun tak ada. Kalimat La Ilaha Illa Allah (Arab: Tidak ada Tuhan selain Allah) yang merupakan espresi terdalam keimanan orang mungkin di gambarkan oleh Allah SWT. Sebagai dasar yang melahirkan cabang-cabang berupa amal saleh:
Apakah Kamu tidak memperhatikan bagai mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akar nya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap muslim dengan seijih tuhannya. Allah memberikan perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka ingat. (Q.s. Ibrahim/ 14:24-25)
Dasar ilmu pendidikan islam adalah islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada Al-Qur’an, sunnah Rasulullah SAW. (selanjutnya disebut sunnah), dan ra’yu (hasil pikir manusia). Tiga sumber ini harus digunakan secara hirarkis. Al-Qur’an harus didahulukan. Apabila suatu ajaran atau penjelasanya tidak di temukan di dalam Al-Qur’an, maka harus di cari didalam sunnah; apabila juga tidak di temukan di dalam sunnah, barulah digunakan rakyu. Sunnah tidak akan bertentangan dengan Al-Qur’an, dan rakyu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah. Tiga sumber ajaran ini dan hirarki penggunaannya di tetapkan di dalam hadits sebagai berikut:
Rasulullah Saw, mengutus Mu’adzke Yaman. Kemudian beliau bertanya “bagai mana kamu memutuskan (suatu masalah)? “ia menjawab” saya akan memutuskannya dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah.” Beliau bertanya “Apabila putusan itu tidak terdapat di dalam kitab Allah?” ia menjawab, “saya akan memutuskanya dengan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apabila putusan itu tidak juga terdapat di dalam Sunnah Rasulullah?” ia menjawab, “saya berijtihad dengan rakyu.” Kemudian beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasul-nya.” (H.R. al-Turmudzi)
Dasar inilah yang membuat ilmu pendidikan disebut ilmu pendidikan Islam. Tanpa dasar ini, tidak akan ada ilmu pendidikan Islam. Persoalan yang muncul adalah dalam bentu apa atau bagaimana Islam mendasari ilmu pendidikannya? Ada anggapan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah berisi teori-teori ilmu, sehingga “Pembuatan dan penulisan teori dalam ilmu pendidikan islam tidak jauh berbeda dari pembuatan dan penulisan teori dalam fiqih”. Pembahasan tentang hakikat Al-Qur’an dan Sunnah di bawah ini diharapkan dapat menjawab persoalan tersebut.
2.2 Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Dalam bahasa arab yang terang guna menjelaskan jalan hidup yang bermaslahat bagi umat manusia di dunia dan di akhirat. Terjemahan Al-Qur’an ke bahasa lain dan tafsirnya bukanlah Al-Qur’an, dan karenanya bukan nasb yang qatb’I dan sah untuk di jadikan rujukan dalam menarik kesimpulan ajarannya.
Al-Qur’an menyatakan dirinya sebagai kitab petunjuk. Allah menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk ke (jalan) yang lebih lurus dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (Q.S. Al-Isra/ 17:9)
Ayat-ayat semacam ini menegaskan bahwa tujuan Al-Qur’an adalah memberikan petunjuk kepada umat manusia. Tujuan ini hanya akan tercapai dengan memperbaiki hati dan akal manusia dengan akidah-akidah yang benar dan akhlak yang mulia serta mengarahkan tingkat laku mereka kepada perbuatan yang baik.
Atas dasar ini, sebagai mana dikemukakan ‘Ali Hasballah, setiap pembahasan tetang Al-Qur’an yang bertujuan mencapai tujuan Al-Quran tersebut merupakan pembahasan yang proposional, dibutukkan, dan berdasar pada dalil syar’i. pembahasan yang tidak bertujuan demikian tidak akan mendapat legitimasi dari dalil syar’i.
Petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana di kemukakan Mahmud Syaltut, dapat dikelompokan menjadi tiga pokok yang di sebutnya sebagai maksud-maksud Al-Qur’an, yaitu:
1. Petujuk tentang akidah dan kepercayan yang harus dianut oleh manusia dan tersimpul dalam keimanan akan Keesaan Tuhan serta kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif.
3. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.
Pengelompokkan tersebut dapat disederhanakan menjadi dua, yaitu petunjuk tentang aqidah dan petunjuk tentang syari’ah. Penyederhanaan ini sesungguhnya di gunakan oleh Syaltut sendidri dalam bukunya yang berjudul al-islam ‘Akidah wa syari’ab (Islam adalah aqidah dan ayariat). Yang di maksud dengan akidah ialah:
Aspek teoritis yang menuntut pertama-tama dan sebelum apapun keimanan kepada Allah; keimanan yang tidak terjamah oleh keraguaan (kuat) dan tidak pula dipengaruhi kekaburan (tegas).
Yang di maksud dengan syariat ialah:
Aturan-aturan atau pokok-pokoknya yang digariskan Allah untuk diterapkan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya, sesama muslim, sesama manusia, alam, dan kehidupan.
Dalam menyajikan maksud-maksud tersebut, Al-Qur’an menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Mengajak manusia untuk memperhatikan dan mengkaji segala ciptaan Allah sehingga mengetahui rahasia-rahasia-Nya yang terdapat di dalam semesta.
2. Menceritakan umat terdahulu, baik individu maupun kelompok, baik orang-orang yang mengerjakan kebaikan maupu orang-orang yang mengadakan kerusakan, sehingga dari kisah ini manusia dapat mengambil pelajaran tentang hukum sosial yang di berlakukan Allah terhadap mereka.
3. Menghidupkan kepekaan batin manusia yang mendorongnya untuk bertanya dan berpikir tentang awal dan materi kejadiannya, kehidupannya, dan kesudahannya, sehingga insyaf akan Tuhan yang menciptakan segala kekuatan.
4. Memberi kabar gembira dan janji serta peringatan dan ancaman.
Sistematika yang di gunakan Al-Qur’an dalam menyajikan kandungannya tidak sama dengan yang digunakan dalam penyususnan buku-buku ilmiah. Dalam buku-buku ilmiah satu masalah dibahas dengan satu metode tertentu serta dibagi menjadi bab-bab dean pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang menerangkan banyak persoalan induk secara silih berganti. Persoalan akidah kadang-kadang bergandengan dengan persoalan hukum diterangkan, tiba-tiba muncul persoalan lain yang sepintas tampak tidak saling berhubungan. Misalnya, apa yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 216-221 yang mengatur hukum perang dalam Al-Asybur Al-Burum (bulan-bulan suci) berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik. Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hukum-hukum yang tercakup di dalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh para penganutnya secara keseluruhan tanpa pemisahan yang satu dari yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah yang merupakan bidang kajian filsafat dan metafisika, Al-Qur’an tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Demikian halnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Yang demikian membuktikan bahwa Al-Qur’an tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab karya manusia.
Al-Qur’an, dalam penegasan Allah dan keyakinan kaum muslimin, merupakan sumber pertama ajaran-ajaran dasar Islam. Sebagai ajaran yang datang dari Allah Yang Maha Besar, kebenarannya bersifat mutlak dan kekal. Oleh sebab itu, sikap keagamaan orang mukmin terhadap Al-Qur’an adalah memahami kebenaran pernyataannya dengan bertitik tolak dari keyakinan; bukan memandangnya sebagai bahan baku teori, hipotensi, atau asumsi ilmiah yang memerlukan pembuktian dengan bertitik tolakdari keraguan. Umpamanya, di dalam Al-Qur’an terdapat firman Allah yang menyatakan sebagai berikut:
… dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)keji dan mungkar…(Q.S. al-Ankabut/29:45)
Pernyataan tersebut menunjukan kepada hubungan kausalitas antara salat dan tercegahnya tidak kekejian dan kemungkaran. Apabila pernyataan itu dipahami dengan logika ilmiah, maka kebenarannya akan bersifat sementara sebelum terbukti secara empiris. Apabila pendidikan muslim berfikir demikian, maka dalam mendidik anak-anak agar tidak melakukan tindak kekejian dan kemungkaran ia tidak akan bersandar kepada pendidikan shalat, bahkan mungkin ia akan membiarkan anak-anak tidak melaksanakannya sampai kebenaran pernyataan di atas terbukti. Dengan demikian, ia siap melanggar kewajiban yang di sampaikan Nabi saw, sebagai berikut:
Suruhlah anak-anak kamu melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun; dan pukullah mereka karena meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka (H.R. Abu Dawud)
Al-Qur’an bukan kitab teori ilmu. Meskipun demikian, antara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat. Hubungan itu terlihat pada pilihan moral: obyek apa yang akan diteliti dan untuk apa pengetahuan yang dihasilkan diterapkan. Disamping itu, sebagai mana di kemukakan M.Quraisy Shihab, hubungan antara Al-Quran dan ilmu tidak dilihat dari adakah suatu teori tercantum di dalam Al-Qur’an, tetapi dari adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan. Kemajuan ilmu tidak hanya di nilai dengan apa yang dipersembahkan kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan terciptanya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu itu. Al-Qur’an telah menciptakan iklim tersebut dengan menjadikan ilmu sebagai bentuk kesadaran muslim yang amat sentral, yang menengahi antara iman dan amal. Dalam hal ini, para ulama sering mengemukakan perintah Allah SWT., langsung maupun tidak langsung, kepada manusia untuk berpikir, merenung, menalar, dan sebagainya. Banyak sekali seruan dalam Al-Qur’an kepada manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan, gugatan, atau perintah supaya ia berpikir, merenung, dan menalar. Umpamanya, terdapat firman Allah yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran dalam mencapai hasil:
Katakanlah (hai Muhammad): “sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah.” (Q.S. Saba’ / 34:46)
Firman Allah yang menekankan betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat:
Tanyakanlah hai Muhammad: “Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan mereka yang tidak mengetahui?” (Q.S. Al-Zuma r/ 39:9)
Firman Allah yang mengeritik pedas orang-orang yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa data obyektif dan ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut:
Inilah kamu (wahai Abi Al-kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. Ali’Imran / 3:66)
Hubungan antar Al-Qur’an dan ilmu pendidikan Islam tampak terbatas pada segi-segi dikemukakan di atas. Namun, ini tidak berarti bahwa Al-Qur’an tidak mempunyai hubungan yang luas dengan pendidikan. Dalam kaitan ini, Ahmad Ibrahim Muhanna mengatakan bahwa Al-Qur’an membahas berbagai aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan terpenting yang dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang dibutuhkan setiap manusia. Hal ini tidak aneh mengingat Al-Qur’an merupakan Kitab Hidayah; dan seseorang memperoleh hidayah tidak lain karena pendidikan yang benar serta ketaatannya. Meskipun demikian, hubungan ayat-ayatnya dengan pendidikan tidak semuanya sama. Ada yang merupakan bagian pondasional dan ada yang merupakan bagian parsial. Dengan perkataan lain, hubungannya dengan pendidikan ada yang langsung dan tidak ada yang tidak langsung.
Al-Qur’an di peruntukkan bagi manusia. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila manusia merupakan tema sentral pembahasannya. Di dalamnya di terangkan hakikat manusia: siapa dirinya, dari mana ia berasal, di mana ia berada, apa yang harus dilakukannya, dan hendak ke mana ia pergi? Masalah hakikat hidup, padangan hidup, dan tujuan hidup merupakan masalah pendidikan. Namun, masalah itu tidak berada dalam ruang lingkup kajian ilmu pendidikan yang hanya menjangkau fakta-fakta empiris, melainkan dalam rung lingkup fisafat pendidikan yang bisa mengambil datanya dari ajaran-ajaran agama.
2.3 Sunnah
Al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada umat manusia dengan penuh amanat; tidak sedikit pun ditambah ataupun dikurangi. Selanjutnya, manusialah yang hendaknya berusaha memahaminya, menerimanya, kemudian mengamalkannya.
Seringkali manusia menemui kesulitan dalam memahaminya, dan ini dialami oleh para shahabat sebagai generasi pertama penerima Al-Qur’an. Karenanya, mereka meminta penjelasan kepada Rasulullah saw. yang memang diberi otoritas untuk itu.
Allah swt. menyatakan otoritas dimaksud dalam firman-Nya di bawah ini:
……. dan kami turunkan kepadamu Al-Dzikir (Al-Qur’an) agar kamu menerangkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir (Q.S. Al-Nahl / 16:44)
Penjelasan itu disebut Al-Sunnah, yang secara bahasa berarti Al-Thariqah, jalan; dan dalam hubungan dengan Rasulullah saw. berarti segala perkataan, perbuatan, atau ketetapannya.
Para ulama menyatakan bahwa kedudukan sunnah terdapat Al-Quran adalah sebagai penjelas. Bahkan, ‘Umar bin Al-khaththab mengingatkan bahwa sunnah merupakan penjelasan yang paling baik. Ia berkata, “akan datang suatu kaum yang membantahmu dengan hal-hal yang syubhat di dalam Al-Qur’an. Maka hadapilah mereka dengan berpegang kepada sunnah, karena orang-orang yang bergelut dengan sunnah lebih tahu tentang kitab Allah.” Apa yang diuraikan para ulama bahwa Sunnah berfungsi merinci (mufashshilah), ajaran yang global (mujmal), di dalam Al-Qur’an, mengikat (muqayyidah), yang mutlaknya (muthlaq), dan mengkhususkan (mukhashshishah), yang umumnya (am), semuanya berarti menjelaskan maksud-maksud Al-Qur’an. Karena kedudukannya itu, Sunnah selalu mempunyai dasar pada Al-Qur’an dan tidak mungkin bertentangan dengannya. Atas dasar inilah muncul pernyataan para ulama bahwa Sunnah merupakan aplikasi praktis (tathhiq’amali) ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Sunnah memang berkedudukan sebagai penjelas bagi Al-Qur’an. Namun, pengamalan ketaatan kepada Allah sesuai dengan ajaran Al-Qur’an sering kali sulit terlaksana tanpa penjelasannya. Karenanya, Allah memerintah kepada manusia untuk menaati Rasul dalam kerangka ketaatan kepada-Nya. Itulah sebab para ulama memandang Sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an.
Dibawah ini dikemukakan contoh bagaimana Sunnah menjelaskan prinsip umum ajaran Al-Qur’an. Umumnya, Al-Qur’an menyatakan kewajiban anak berbuat baik kepada orang tua.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun; dan berbuat baiklah kepada dua orang tua.....(Al-Nisa’/4:36)
Berbuat baik kepada orang tua merupakan prisip umum yang digariskan Al-Qur’an dalam hubungan dengan orang tua. Penerapannya bisa dalam bentuk yang bermacam-macam. Al-Qur’an sendiri antara lain mengemukakan:
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
(Q.S. Al-Isra’/17:23)
Pada bagian lain dijelaskan:
Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan. (Q.s. Al-Ankabut/ 29:8)
Sunnah menjelaskan prinsip tersebut dalam bentuk penerapan yang lebih banyak lagi. Umpamanya, anak tidak boleh ikut berperng tanpa izin orang tuanya.
Diriwayatkan bahwa’ abdulah bin’ Amr bin al-‘Ash r.a. berkata, “seorang lelaki datang kepada Nabi Allah saw. Seraya berkat, ‘Aku mejmbaiatmu untuk berhijrah dan berzihad guna mencari pahala dari Allah Ta’ala’. Beliau bertanya, ‘Apakah di antara dua orang tuamu ada yang masih hidup? ‘Dia menjawab, ‘Ya. Bahkan, keduanya’. Beliau bertanya, ‘Lalu, kamu hendak mencari pahala dari Allah Ta’ala?’ dia menjawab, Ya. ’beliau berkata, kembalilah kepada kedua orang tuamu; lalu, temanilah mereka dengan baik.’ (Hadits Muttafaq ‘alaih dengan lafazh muslim)
Contoh lainya anak tidak boleh menghina orang tua yang lain, sebab anak yang orang tuanya dihina boleh jadi akan balas menghina orang tuanya pula. Rasulullah saw. Bersabda:
“Diantara antara dosa besar ialah seseorang mencari orang tuanya sediri!” para shahabat bertanya (heran), “ya rasulallah, bagai mana mungkin seseorang mencari dua arang tuanya sendiri!?” beliau menjawab, “Ya. Dia mencari bapa orang lain, lalu orang lain itu balas mencaci bapaknya; dan ia mencaci ibu orang lain, lalu orang lain itu balas mencaci ibunya pula.” (Hadits muttapaq ‘alaih)
Para ulama ulama hadits telah menghimpun bentuk-bentuk berbuat baik kepada orang tua di dalam karya mereka seperti pada bab Birr Al-Walidayin(Berbuat baik kepada dua oarang tua) dan Uquq Al-Walidayn (Mendurhakai dua orang tua).
Dalam lapangan pendidikan, sebagaimana dikemukakan Abdurrahman Al-Nahlawi, sunnah mempunyai dua faidah:
1. Menjelaskan sistem pendidikan Islam sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an dan menerangkan hal-hal rinci yang tidak terdapat di dalamnya.
2. Mengingatkan metode-metode pendidikan yang dapat dipraktikan.
Pribadi Rasulullah saw. sendiri, kata Muhammad Quthb, merupakan contoh gidup serta bukti konkres sistem dan hasil pendidikan islam. Hal ini diakui oleh Allah swt. dengan firman-Nya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.s Al-Ahzab/33:21)
Sunnah, sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an, mengambil dua bentuk: nilai-nilai dan kaidah-kaidah normatif serta teknik-teknik praktis historis. Bentuk pertama bisa dikembangkan dalam hirarki nilai, sehingga tidak mungkin ada pertentangan antara nilai pokok dan nilai cabang. Bentuk kedua bisa diubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Umpamanya dengan menelaah kembali apakah teknik-teknik pendidikan yang digunakan rasul masih relevan atau tidak ada apakah cukup memadai ataukah belum untuk diterapkan di masa sekarang.
Banyak tidakan mendidik yang telah di contohkan Rasulullah saw. Dalam pergaulannya bersama para sahabatnya. Dia menganjurkan agar pembicaraan yang diarahkan kepada orang lain hendaknya disesuikan dengan tingkat kemampuan berpikir mereka. Dia memperhatikan setiap orang sesuai dengan sifatnya: wanita atau lelaki, tua atau kanak-kanak. Kepada orang yang menyenangi harta, dia akan memberinya harta agar hatinya menjadi lunak. Kepada orang yang mencintai kedudukannya, dia akan menempatkan kedudukan orang itu dekat dengannya, karena di mata kaumnya dia adalah orang yang berkedudukan. Dalam pada itu, dia tidak pernah lengah untuk menyeru mereka agar beribadah kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya.
Ulama muslim telah memahami dan menyadari pentingnya tindakan mendidik yang dicontohlan oleh Rasulullah saw. Di antara mereka ada yang menyusun kitab berisi hadits-hadits rasulullah saw. Yang berorientasi pendidikan, seperti kitab Al-Targhib wa Al-targhib. Kitab karya ‘Abdul ‘Azham Al-Mundziri (581-656 H)ini menanamkan motivasi untuk cinta mengerjakan kebaikan dan menjauhi perbuatan jahat. Kitab ini membahas banyak aspek kehidupan: material, spritual, finansial, individual, sosial, peribadatan, dan intelektual. Ada pula ulama yang mempelajari kehidupan dan hadits Rasulullah saw. Untuk menggali beberapa topik pendidikan yang kemudian disusun menjadi kitab. Contohnya adalah kitab Tuhfah Al-Maudud fi Ahkam Al-Maulud, karya ibnu Qayyim Al-jauziyyah; dan Al-Adab AL-mufrid karya imam Muhammad bin Isma’ il Al-Bukhari. Yang terakhir ini adalah kitab pendidikan Nabawi yang mengandung beberapa tuntunan sekitar pendidikan dan perlakuan terhadap anak-anak yatim, perilaku sosial, serta menyayangi, mencium, dan bercanda dengan anak-anak.
2.4 Ra’yu
Masyarakat selalu mengalami perubahan, baik mengenai nilai-niali sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola tingkah laku, organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, maupun interaksi sosial, dan lain sebagainya.
Pendidikan sebagai lembaga sosial akan turut mengalami perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
John Vaizey, seorang guru besar dalam ilmu ekonomi dari Universitas Brunel, Inggris, menggambarkan perubahan yang terjadi pada tahun-tahun pertengahan abad ke-20. dikatakannya bahwa meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya pengharapan, dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan telah membawa serta perubahan-perubahan baru dalam pendidikan. Orang dapat menyaksikan penerapan teknik-teknik ilmu pengetahuan alam dan sosial serta teknologi dalam proses pendidkan sebagai akibat adanya pengertian yang lebih dalam tentang apa yang terjadi dalam pendidkan. Ada orang yang berpandangan bahwa meningkatnya penggunaan teknik-teknik yang melibatkan elektronika dan perlengkapan lainnya yang kompleks telah mengakibatkan dehumanisasi pendidikan. Mungkin ada pula orang yang berpendapat bahwa penghotbahan doktrin “afisiensi” dalam penggunaan sumber-sumber untuk pendidikan berarti bersikap pragmatis dan mementingkan kegunaan terhadap pendidikan. Sehubungan dengan perhatian terhadap efisiensi, ada pula perhatian terhadap latihan bagi orang-orang untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dalam kesibukan merenungkan fungsi latihan ini, maka tujuan-tujuan terakhir pendidikan menjadi kabur.selanjutnya dapat dinyatakan bahwa abad ini menyaksikan gugurnya pedoman-pedoman peradaban dalam sekolah dan perguruan tinggi.
Pada masa-masa berikutnya muncul penelitian yang menunjukan kecenderungan dunia untuk menjadikan sekolah sebagai lembag yang bernorma kuat, sehingga tidak ada usaha swasta yang tidak diakui pemerintah bila “norma”-nya tidak memenuhi selera pemerintah. Sementara itu, sebagai pemikir pendidikan melihat bahwa sekolah tidak bisa diharapkan untuk mengamansipasi martabat kemanusiaan (human dignity). Mereka mengeritik pandangan yang mempertahankan sekolah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan prinsip bahwa dunia harus maju, tanpa peduli adanya akibat malapetaka ledakan nuklir, pencemaran, dan sebagainya. Di antara para kritikus yang vokal dalam hal ini ialah ivan illich yang menggambarkan adanya masyarakat bebas dari ikatan-ikatan pendidikan sekolah; paulo freire yang menganggap sekolah sebagai tempat pendidikan rakyat tertidas; dan Everett Reimer yang menganalisis pendidikan sekolah pada kematiannya.
Perubahan-perubahan seperti di kemukakan di atasdan munculnya gagasan-gagasan baru tentang pendidikan pada gilirannya melahirkan berbagai masalah pendidikan. Apakah perubahan yang terjadi bertentangan dengan nilai-nilai hakiki pendidikan ataukah malah sebaliknya, meningkatnya? Apakah perubahan pada suatu komponen mengharuskan perubahan seluruh sistem? Apa yang harus diajarkan? Apakah sekolah harus dibubarkan? Jika sekolah dibubarkan, di mana generasi muda memperoleh pendidikan? Jika sekolah tidak dibubarkan, bagaimana agar sekolah berfungsi dalam mencapai tujuan pendidikan?
Masalah-masalah di atas merupakan perkembangan baru di dunia pendidikan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah saw., tetapi memerlukan jawaban untuk kepentingan pendidikan di masa sekarang. Untuk itulah diperlukan ijtihad dari para pendidik muslim.ijtihad pada dasrnya merupakan usaha sungguh-sungguh orang muslim untuk selalu berprilaku berdasrkan ajaran Islam. Untuk itu, manakala tidak di temukan petunjuk yang jelas dari Al-Qur’an maupun Sunnah tentang suatu perilaku, orang muslim akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk menemukannya dengan memperhatikan prisip-prinsip umum Al-Qur’an maupun Sunnah.
Ijtihad sudah dilakukan para ulama sejak masa shahabat. Namun, tampaknya literatur-literatur yang ada menunjukan bahwa ijtihad masih terpusat pada hukum syarak. Yang dimaksud dengan hukum syarak, menurut depinisi ‘Ali Hasballah, ialah proposisi-proposisi yang berisi sifat-sifat syariat (seperti wajib, haram dan sunnah) yang disandarkan pada perbuatan manusia, baik lahir maupun batin. Kemudian dalam hukum tentang perbuatan manusia ini tampaknya aspek lahir lebih menonjol ketibang aspek batin. Dengan perkataan lain, fiqih zhahir lebih banyak digeluti daripada piqih bathin. Karenanya, pembahasan tentang ibadah, muamalat, dan jinayat lebih dominan ketimbang kajian tentang iklas, sabar, memberi maaf, merendahkan diri, dan tidak menyakiti orang lain.
Ijtihad dalam lapangan pendidikan malah nyaris ta terdengar. Sebabnya barangkali bisa di rujuk pada kondisi sosial umat di masa lalu. Persoalan kenegaraan, perdagangan, perkawinan, dan sebagainya seperti terlihat pada tema-tema piqih tampak merupakan masalah akut pada masa itu, sementara persoalan pendidikan cukup diatasi oleh konvensi-konvensi yang ada. Meskipun demikian, ada sebagian ulama yang peduli terhadap masalah pendidikan, di antaranya dapat disebutkan kelompok ikhwan Al-Shafa, Al-Ghazali, Ibnu Khladun, Al-Zarnuji, Al-Kanbin, dan Al- Ansari.
Ijtihad dalam lapangan pendidikan perlu mengimbangi ijtihad dalam lapangan fiqih (lahir dan batinnya), mengingat yang pertama merupakan usaha pembudayaannya, sedangkan yang kedua merupakan usaha penggalian budaya itu. Ruang lingkupnya bisa dalam lingkup filsafat pendidikan Islam dan bisa pula dalam lingkup ilmu pendidikan Islam.
Dalam lingkup ilmu pendidikan Islam, pernyataan Al-Qur’an dan Sunnah hendaknya dipilih mana yang bernialai normatif dan mana yang bernilai teknis-praktis, sehingga tidak terjadi salah perlakuan, tidak membuktikan secara empiris apa yang seharunya diyakini. Sementara itu, hasil pikir para ulama seperti Ibnu Sina, Al-Gazali, dan Ibnu Khaldun masih terbuka untuk dikaji ulang guna dicari kemungkinan penerapannya di masa sekarang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melahirkan ilmu pendidikan Islam merupakan pekerjaan yang memerlukan penanganan bersama oleh segenap anggota masyarakat, dan yang tidak kalah penting adalah dasar atau pondasi. Dasar yang harus kita anut adalah dasar-dasar pendidikan Islam. Dasar-dasar ilmu pendidikan Islam adalah dasar atau pondasi yang mengacu pada Islam. Dan dasar-dasar tersebut adalah Al-Qur’an sebagai pondasi yang kuat dan kokoh, dan As-Sunnah atau Hadits sebagai tiang yang menopang kekuatan pondasi, sedangkan ra’yu sebagai pelengkap yang memperindah.
Aturan atau pokok yang digariskan, oleh Allah untuk diterapkan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-Nya. Sesama muslim, sesama manusia, alam, dan kehidupan (Al-Qur’an dan Hadits) adalah ayariat yang harus di laksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
- Aly, Herynoer. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. PT. Logos Wacana Ilmu: Jakarta.
- Arifin, H.M., 1994. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Bumi Angkasa.1994
|